Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI SAROLANGUN
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2021/PN Srl GUDSON PASARIBU Kepala Kepolisian Resor Sarolangun Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 06 Mei 2021
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2021/PN Srl
Tanggal Surat Kamis, 06 Mei 2021
Nomor Surat 01/III/SRL
Pemohon
NoNama
1GUDSON PASARIBU
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Resor Sarolangun
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Perkenankanlah saya :

Umar Muda Pasaribu SH. adalah Advokat pada Kantor Firma Hukum Jamtara yang beralamat di Jl. Lintas Sumatera Pasar Sarolangun, Kecamatan Sarolangun, kabupaten Sarolangun, Telp/HP. 0812 7817 707 e-mail: jamtara_lawfirm@hotmail.com. Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal  26 April 2021, baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama Gudson Pasaribu, selanjutnya disebut sebagai PEMOHON.

M E L A W A N

Kepala Kepolisian Resor Sarolangun yang beralamat di Jl. Sarolangun-Lubuk linggau nomor 265, Lubuk Sepuh, Pelawan, Kabupaten Sarolangun, selanjutnya disebut sebagai TERMOHON.

untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan Penggelapan yang di lakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang di sebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah atau barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri dengan akal atau tipu muslihat maupun dengan perkataan bohong sebagai mana di maksud dalam pasal 374 KUHPidana jo pasal 378 KUHPidana oleh Kepala KepolisianResor Sarolangun. Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut :

 

DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan: Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Bahwa dalam perkembangannya, pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011,
Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015

Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

Mengadili,

Menyatakan :

Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :

[dst]
[dst]
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

 

ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI SAKSI, SAKSI TERLAPOR ATAUPUN SEBAGAI CALON TERSANGKA

Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
“Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka. Berdasar pada Surat Perintah Penangkapan untuk pertama kali dan satu-satunya oleh Termohon, yakni melalui surat penangkapan sebagai Tersangka oleh Termohon dengan Nomor SP. Kep/35/IV/2021/Reskrim tertanggal 21April 2021 tidak pernah membuktikan Pemohon diperiksa sebagai calon tersangka, akan tetapi Pemohon langsung di tangkap dan digeledah sebagai Tersangka kemudian langsung di lakukan penahanan pemohonoleh Termohon melalui surat perintah penahanan nomor SP Han/28/IV/2021/Reskrim, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon.
Bahwa berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Satuan Reserse Kriminal Umum Polres Sarolangun.
Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.

 

PENETAPAN STATUS TERSANGKA TERHADAP PEMOHON OLEH TERMOHON SANGAT MERENDAHKAN HARKAT DAN MARTABAT PEMOHON.

Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon, bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon berdasarkan Surat Perintah Penangkapan yang di sampaikan oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor SP. Kep/35/IV/2021/Reskrim tertanggal 21 April 2021 yang menyatakan bahwa Pemohon sebagai Tersangka. Bahwa apabila mengacu kepada suratpenangkapan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan. Dan sudah seharusnya Termohon melakukan penyelidikan lebih dahulu terhadap Pemohon, barulah menetapkan pemohon sebagai tersangka jika dalam penyelidikan itu memenuhi persyaratan untuk di tetapkan sebagi tersangka.
Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
Bahwa Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penetapan Pemohon sebagai Tersangka.
Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan tidak dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpa surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.

 

PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA OLEH TERMOHON SEBELUM ADA PEMERIKSAAN TERHADAP PEMOHON.

Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 21April 2021, pada saatdi tangkap di Palangkaraya tepatnya di warung bakso dekat rumah pemohon dengan di dahului pemukulan di bagian Hidung pemohon, Mata sebelah kiri pemohon dan Pemukulan pada kepala bagian belakang pemohon. Bahwa setelah hal itu di lakukan oleh Termohon, barulah kemudian Termohon meminta Pemohon untuk menandatangani surat penangkapan Pemohon sebagai Tersangka dengan nomor SP. Kep/35/IV/2021/Reskrim tertanggal 21 April 2021.
Bahwa kemudian pada tanggal 22 April 2021, sebelum Pemohon di bawa Termohon ke Sarolangun dari Palangkaraya, Termohon memberikankepada Pemohon Surat Perintah Penahanan atas nama Pemohon dengan nomor SP.Han/28/IV/2021/Reskrim.
Bahwa pada tanggal yang sama pula yaitu tanggal 22 April 2021 Termohon memberikan kepada istri Pemohon yang bernama Ellyfatmawati boru Siagian surat pemberitahuan  Penangkapan, Penahanan, dan Pengiriman SPDP tersangka an. Gudson Pasaribu dengan nomor B/28.a/IV/2021/Reskrim.
Bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan Penyidik, dimana telah di lakukan tindakan Penangkapan, Penggeledahan dan penetapan tersangka, barulah di lakukan penyidikan yaitu dengan meminta keterangan dari Pemohon, dengan demikian sangat bertentangan dengan makna sesungguhnya dari pengertian “PENYIDIKAN” itu sendiri. Hal mana dalam proses penyelidikan belum ada tersangka, kalaupun ada orang yang diduga pelaku tindak pidana. Sedangkan penetapan tersangka merupakan proses yang terjadi kemudian, letaknya di akhir proses penyidikan. Menemukan tersangka menjadi bagian akhir dari proses penyidikan. Bukan mentersangkakan lebih dahulu baru penyidikan. Hal itu sesuai dengan Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan dalam KUHAP.
Bahwa karena menetukan tersangka merupakan bagian ahir dari Proses penyidikan, maka tindakan Termohon telah melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP yang pada intinya menyatakan Pemohon sebelum proses penyidikan di lakukan selesai selesai.
Bahwa berdasar pada uraian diatas, dimana Termohon telah menyatakan Pemohon sudah tersangka, walaupun belumpernah Termohon melakukan pemeriksaan terhadap Pemohon guna kepentingan penyidikan. Untuk itu tindakan Penyidik yang demikian merupakan tindakan yang unprosedural, sehingga dengan demikian penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dikategorikan cacat hukum.

 

TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA

Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Penggelapan oleh orang yang penguasaanya terhadap barang di sebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu atau barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberikan hutang maupun menghapuskan piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374 dan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polri Resor Sarolangun Satuan Reserse Kriminal kepada Pemohon hanya berdasar pada Keterangan Saksi Pelapor. Hal ini dapat kami lihat berdasar pada surat perintah penahanan nomor SP Han/28/IV/2021/Reskrim tanggal 22 April 2021.
Bahwa Pemohon tidak pernah di mintai keterangan atau di periksa sebagai saksi sekalipun oleh Termohon sebelum di tetapkan sebagai tersangka.
Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Penggelapan oleh orang yang penguasaanya terhadap barang di sebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu atau barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberikan hutang maupun menghapuskan piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374 dan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Termohonkepada Pemohon, mengingat bahwa Pemohon di tetapkan sebagai tersangka sebelum di periksa baik sebagai saksi, saksi terlapor dan atau sebagai calon tersangka.
Berdasar pada uraian diatas, maka tidak tidak terpenuhinya minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka tindakan Termohon yang menyatakan Pemohon sebagai Tersangkadapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.

 

PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA, AKAN TETAPI MASIH DILAKUKAN PENYIDIKAN

Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 21 April 2021, namun pada tanggal 22 April 2021 di Palangkaraya Pemohon masih di periksa dan di minta tandatangan Berita Acara Pemerikasaan dan tanggal 5 Mei 2021 juga masih di lakukan pemeriksaan terhadap Pemohon oleh Termohon.
Bahwa hal tersebut merupakan bentuk kesewenang-wenangan Penyidik, dimana Pemohon sudah dinyatakan sebagai Tersangka, akan tetapi masih dilakukan pemeriksaan untuk penyidikan, dengan demikian sangat bertentangan dengan makna sesungguhnya dari pengertian “PENYIDIKAN” itu sendiri. Hal mana dalam proses penyelidikan belum ada tersangka, kalaupun ada orang yang diduga pelaku tindak pidana. Sedangkan penetapan tersangka merupakan proses yang terjadi kemudian, letaknya di akhir proses penyidikan. Menemukan tersangka menjadi bagian akhir dari proses penyidikan. Bukan menetapkan tersangka baru melakukan penyidikan. Hal itu sesuai dengan Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan dalam KUHAP.
Bahwa hal tindakan Termohon telah melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b yang pada intinya menyatakan dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai atau telah di temukan tersangkanya, penyidik seharsnya menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Bukan melakukan penyidikan lagi atau meminta keterangan lain guna memaksakan Pemohon sebagai Tersangka. Hal ini tidak sesuai dengan defenisi dari kata tersangka itu sendiri sebagai mana di maksud pada pasal 1 angka 14 KUHPidana dan Pasal 1 Angka 10 Peraturan Kepala Kepolisian Negara republic Indonesia no 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan tindak Pidana (“Perkapolri 14/2012”)
Bahwa berdasar pada uraian diatas, dimana penyidik telah menyatakan Pemohon sebagai Tersangka, akan tetapi masih diperiksa guna kepentingan penyidikan, maka pemeriksaan yang di lakukan setelah penetapan Pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah dikarenakan Penyidik tidak memiliki kompetensi lagi melakukan Penyidikan, karena beban tugas dan tanggung jawab semestinya telah berpindah kepada Jaksa Penuntut Umum. Untuk itu tindakan Penyidik yang demikian merupakan tindakan yang unprosedural, sehingga dengan demikian penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dikategorikan cacat hukum.

 

PENETAPAN STATUS TERSANGKA KEPADA PEMOHON MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANGWENANGAN TERMOHON DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’
Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi:

ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
dibuat sesuai prosedur; dan
substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.

Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogianya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :

“Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan

Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Sarolangun yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

 

PERBUATAN PEMOHON MURNI MERUPAKAN HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN.

Bahwa Pemohon bekerja dengan PT. Agrindo Panca Tunggal Perkasa sebagai Pelapor dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu tanggal 26 November 2019.
Bahwa ada biaya yang di keluarkan oleh pemohon selama bekerja di PT. Agrindo Panca Tunggal Perkasa pada bulan Januari 2020 untuk biaya entertain dengan pihak-pihak masyarakat di sekitar areal perusahaan. Dan ada biaya yang di keluarkan oleh pemohon biaya transportasi pemohon Jambi guna kepentingan Perusahaan danada biaya transportasi ke kantor pusat PT. Agrindo Panca Tunggal Perkasa Jakarata dengan total keseluruhan adalah 13.304.000,- (tiga belas juta tiga ratus empat ribu rupiah)
Bahwa dari total pengeluaran tersebut sebahagian di keluarkan lebih dahulu dari uang pribadi Pemohon sebesar 4.650.000,- (empat juta enam ratus lima puluh ribu rupiah) belum pernah di kembalikan oleh management PT. Agrindo Panca Tunggal Perkasa kepada Pemohon.
Bahwa total uang perusahaan yang di gunakan Pemohon dalam bekerja sebagai mana kami uarikan pada poin 2.7.2. adalah 8.654.000,- (delapan juta enam ratus lima puluh empat ribu rupiah).
Bahwa Managament PT. Agrindo Panca Tunggal Perkasa benar telah memberhentikan Pemohon dari jabatannya sebagai Estate manager sejak tanggal 15 Februari 2020 di PT. Agrindo Panca Tunggal Perkasa melalui surat no. 002/APTP-KBN/HRD-PHK/II/2020 pada tanggal 14 Februari 2020 sesuai dengan isi Perjanjian Kerja Waktu tidak tertetantu Tanggal 26 November 2019 Pasal III poin 3.1.yang bunnyinya “ Karyawan akan menjalani masa percobaan selama 3 (tiga) bulan efektifsejak dari hari pertama di laporkan dan bekerja sebagai tanggal masuk kerja”.
Bahwa Gaji Pemohon di PT. Agrindo Panca Tunggal Perkasa mulai tanggal 1 Februari 2020 sampai dengan tanggal 15 Februari 2020 sebesar + 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) tidak di bayar PT. Agrindo Panca Tunggal Perkasa seketika Pemohon di berhentikan.
Bahwa sekira bulan Maret 2020, Managament PT. Agrindo Panca Tunggal Perkasa pernah mengirim surat yang di foto kemudian di kirim melalui WA dari HRD dan Head Plt Dept PT. Agrindo Panca Tunggal Perkasa dengan nomor surat 002R/APTP-HRD/III/2020 mengenai adanya pembayaran premi di bulan Januari 2020 di atas standard dan tidak sesuai dengan hasil Verifikasi.
Bahwa berdasarkan perhitungan sendiri management PT. Agrindo Panca Tunggal Perkasa, Pemohon di denda sebesar Rp. 9.209.629,- (sembilan  juta duaratus sembilan ribu enam ratus dua puluh sembilan rupiah). Untuk membayar denda tersebut, gaji Pemohon yang belum di bayar oleh Managament PT. Agrindo Panca Tunggal Perkasa sebesar 12.000.000,- ( dua belas juta rupiah)  di potongkan untuk membayar denda tersebut atau dengan kata lain, Pemohon masih memiliki Gaji yang belum di bayar oleh PT. Agrindo Panca Tunggal Perkasa.
Bahwa hubungan hukum yang dilaporkan oleh pelapor bukanlah termasuk tindak pidana Penggelapan yang di lakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang di sebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah atau barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri dengan akal atau tipu muslihat maupun dengan perkataan bohong sebagai mana di maksud dalam pasal 374 KUHPidana jo pasal 378 KUHPidana melainkan hubungan keperdataan dalam hubungannya dengan masalah ketenagakerjaan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka tidak dapat dikatakan Pemohon dapat dikenakan Pasal-Pasal dalam dugaan Penggelapan oleh orang yang penguasaanya terhadap barang di sebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu atau barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberikan hutang maupun menghapuskan piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374 dan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti halnya dilakukan Termohon kepada Pemohon.

 

PETITUM

Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sarolangun yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan Penggelapan oleh orang yang penguasaanya terhadap barang di sebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu atau barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberikan hutang maupun menghapuskan piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374 dan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidanaoleh Termohon tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

 

PEMOHON  sepenuhnya memohon kebijaksanaan yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sarolangun yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap perkara aquo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

Apabila yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sarolangun yang memeriksa Permohonanini berpendapat lain mohon putusa yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)

Pihak Dipublikasikan Ya